Minggu, 08 Juni 2014

Konflik antarsuku di Indonesia


Konflik antarsuku atau antar daerah bahkan antarwarga merupakan hal yang cukup sering terjadi, terlebih di Negara Indoesia yang heterogen dengan latar belakang budaya yang berbeda. Konflik tersebut ada yang bias diselesaikan dengan baikm berakhir dengan perang dingan, bahkan sampai pada konflik yang membuat jatuhnya korban di salah satu atau kedua belah pihak.
Di sini saya akan menjelaskan tentang konflik yang terjadi antara suku dayak dan Madura.

Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.

Meletusnya konflik komunal (communal conflict) yang. Konflik etnik di Sampit yang berkecamuk sejak hari Minggu, 18 Februari dinihari hingga awal Maret 2001 ini meledak begitu saja tanpa dapat diantisipasi oleh siapapun. Padahal dalam empat tahun terakhir ini kita sebetulnya secara beruntun telah berulang kali diterpa badai bencana yang sama di berbagai daerah Nusantara. Di daerah Kalimantan saja, sesungguhnya konflik komunal ini telah berkecamuk sejak tahun 1950-an. Kasus Sampit ini adalah yang ke 16 kali. Pada bulan Juli dan Desember tahun lalu juga kembali terjadi gejolak konflik yang sama di Kalimantan Tengah. Mengapa kita begitu terlambat untuk tidak mempersiapkan diri mengantisipasi kemungkinan datangnya bencana yang sama sampai keadaan telah terlanjur luluh-lantak demikian rupa, baru kita terkesiap, hilang keseimbangan dan tergagap-gagap tidak tahu harus berbuat apa ?

Ketidaksiapan kita sebagai pemerintah yang wajib memberikan jaminan keamanan kepada semua warganya ini lebih disebabkan oleh kelengahan/kelemahan institusional dalam memantau, menganalisis dinamika konflik lokal dan menyiapkan kerangka antisipasi dan penyelesaian yang komperhensif, serta kekurangpedulian serta kekurangpekaan para pemimpin atas permasalahan dan penderitaan rakyat di wilayah-wilayah yang rawan konflik. Proses pemisahan Polri dari TNI yang belum tuntas serta dimulainya proses desentralisasi dengan persiapan serba tanggung telah menyebabkan para pejabat (sipil dan militer) saling menunggu dan melempar tanggung-jawab satu kepada yang lain. TNI menunggu Polisi meminta bantuan, dan setali-tiga-uang, Pemerintah Pusat menunggu Pemda memohon pertolongan. Tidak muncul kesigapan pihak manapun yang bergerak atas dasar ketulusan kecintaan kepada anak Bangsa yang terkapar mengenaskan.

Dikatakan kelengahan institusional karena kita ternyata sampai kini belum memiliki suatu Sistem Peringatan Dini yang mumpuni walaupun telah berulangkali diterpa badai konflik komunal yang sejenis. Sesungguhnya, Peta Konflik Komunal di Nusantara tercinta ini dapat dengan mudah dikenali dan dibuat. Lagipula, Anatomi Konflik Komunal itu juga memperagakan pola-dasar yang nyaris seragam di berbagai titik-panas yang telah sempat meletus. Disamping itu, secara institusional kita juga belum mampu menyuguhkan suatu Kerangka Penyelesaian yang cermat, komperhensif dan realistik untuk dilaksanakan. Cara penyelesaian yang diajukan selama ini selalu bersifat ad-hoc dan parsial. Lebih parah lagi cara-cara ad-hoc dan parsial inipun tidak dilaksanakan dengan komitmen dan kesungguhan yang berkesinambungan.

Peta konflik di Nusantara dalam sepuluh tahun terakhir ini kurang-lebih menyebar mengikuti garis pemisah Wallace (Wallace line). Jenis konflik Indonesia Barat yang terutama mencakup Sumatera, Jawa dan Bali lebih merupakan konflik vertikal, antara negara/aparat negara yang berhadapan dengan warga negara, seperti Aceh misalnya. Kalaupun, kelompok etnis tertentu terseret dalam konflik itu maka biasanya karena kelompok itu diyakini dekat dengan aparat negara yang korup, seperti kasus Bengkalis, Riau, baru-baru ini. Konflik yang bersifat vertikal ini cepat atau lambat pada akhirnya akan menjalar menjadi konflik horizontal antara kelompok etnis yang bersaing seperti dalam kasus Aceh, pendatang Jawa kemudian dimusuhi dan diusir oleh penduduk asli Aceh.

Langkanya konflik horizontal di Indonesia bagian Barat ini sangat erat hubungannya dengan mozaik konfigurasi komunal di sana. Hampir semua bagian wilayah ini, kecuali Sumatera Selatan, didiami oleh satu suku utama yang dominan, Aceh oleh orang Aceh, Sumut oleh Batak, Sumbar oleh orang Minang, Jawa Barat oleh Sunda, Jawa Tengah dan Timur oleh orang Jawa serta pulau Dewata oleh orang Bali. Tingkat homogenitas yang tinggi dan dominasi yang digenggam oleh satu suku utama ini mampu menjadi instrumen pencegah dan peredam yang ampuh. Lagipula secara relatif Indonesia Barat adalah wilayah yang lebih dulu terpapar terhadap pengaruh luar. Sejak berabad-abad mereka terbiasa bergaul, dalam bidang perdagangan, dengan pendatang minoritas yang sama sekali tidak membangkitkan rasa keteracaman di pihak penduduk asli yang dominan. Toleransi akan keanekaragaman sudah melekat secara alamiah baik dalam sistem budaya maupun dalam sikap dan tingkah laku warga Indonesia Barat.

Bentuk-bentuk Komflik Sampit
Keseluruhan permasalahan yang meletupkan konflik Sampit yang demikian bengis itu dapat dipilah-uraikan anatominya dalam empat (4) kelompok faktor utama, yaitu : (1) pola pemukiman yang berperan sebagai facilitating factor; (2) menyempitnya ruang-hidup (Lebensraum) penduduk asli yang merupakan inti permasalahan (core of the problem) dari struktur konflik komunal ini; (3) tergerusnya identitas-diri (self-identity) suku Dayak yang berperan sebagai faktor sumbu pencetus (fuse factor); dan (4) lembaga penegak hukum yang lumpuh akibat aparat yang korup yang berperan sebagai mekanisme penumpuk kekesalan (grudges) yang terus membukit terutama selama 32 tahun terakhir ini.

    Pola Pemukiman yang tersegregasi (segregated pattern of settlement).Seperti diketahui, pola pemukiman suku asli di daerah pedesaan adalah pola pemukiman sub-suku (tribal pattern of settlement). Tiap sub suku Dayak mengklaim teritori tertentu dengan batas-batas yang jelas dengan teritori sub-suku lain. Penarikan batas yang jelas ini, di satu pihak, kedalam sesama warga berfungsi sebagai penegasan rasa ke-kita-an (sense of community) sekaligus untuk menjamin rasa aman (physical safety) dan lahan untuk mewadahi kegiatan bersama dalam mengusahakan kesejahteraan (material well-being), di lain pihak, keluar, merupakan pengakuan akan eksistensi sub-suku lain yang juga dihormati haknya untuk hidup berdampingan secara damai.Pola pemukiman di pedesaan Kalimantan ini kemudian dibawa dan diterapkan oleh warga Dayak yang berpindah ke wilayah perkotaan. Mereka cenderung untuk mengelompok perumahannya dalam suatu wilayah/sudut kota tertentu. Pola pemukiman yang segregatif secara horizontal akan menjadi lahan konflik yang subur bila ia tumpang-tindih dengan segregasi kelas secara ekonomi. Di banyak kota di Kalimantan, khususnya Sampit, Keterbelahan horizontal memang benar-benar berhimpit dengan keterbelahan vertikal.

Keterbelahan vertikal ini mengambil bentuk dalam jenis-pekerjaan dan posisi-posisi strategis yang dikapling oleh suku-suku tertentu. Mayoritas warga suku Dayak adalah petani, sedangkan mayoritas suku-suku pendatang adalah di bidang non-pertanian. Sebagian besar dari posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan digenggam oleh suku-suku pendatang. Kalaupun ada satu dua warga Dayak yang menjadi Camat atau Bupati, keseluruhan sisa jabatan birokrasi yang ada dikuasai oleh suku-suku pendatang.

Pola bertempat tinggal yang segregatif ini yang kemudian berresonansi dengan pengkaplingan pekerjaan dan posisi-posisi strategis jelas menyekat suku asli dari suku-suku pendatang yang semakin mempertebal rasa ke-kita-an dan rasa ke-mereka-an di kedua belah pihak. Pada titik ini, yang terjadi tidak ketertutupan sosial (social closure) tapi juga ketertutupan ekonomi (economic closure). Bila hal yang terakhir ini terjadi, kekerasan struktural (structural violence) yaitu penutupan akses ke dan kontrol atas sumber daya strategis mulai terjadi.

Bila hal ini tidak segera dikoreksi maka lambat atau cepat structural violence akan melahirkan physical violence.
     Menyempitnya Ruang Kehidupan Suku Dayak. Ruang kehidupan dan mata pencaharian suku Dayak yang sangat terjalin erat hutan dan tanah terancam punah oleh kebijakan pemerintah Pusat Orba yang banyak memberi HPH kepada para konglomerat kroni. Tiga puluh tahun lalu, Kabupaten Kotawaringin Timur di mana Sampit berada, mempunyai 5 juta Ha hutan. Sekarang menyusut tinggal 2,7 juta Ha yang masih berbentuk hutan. Dari jumlah ini hanya 0,5 Ha yang ditetapkan sebagai hutan-lindung yang tidak boleh diolah oleh siapapun termasuk warga Dayak. Ada rencana untuk mengambil 2,7 juta Ha yang tersisa tersebut di atas untuk dijadikan perkebunan Negara. Bila pembabatan hutan, baik legal maupun yang illegal, terus berlangsung dengan kecepatan seperti sekarang ini maka diperkirakan seluruh hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur akan habis tak berbekas dalam 10 tahun yang akan datang. Bagian hutan yang diambil alih telah disulap menjadi tanah pertanian, perkebunan, semak-belukar serta pemukiman.

Ruang kehidupan yang semakin sempit terutama dirasakan oleh generasi muda Dayak yang masih harus membangun hidup mereka. Bila hutan dan lahan sistem perladangan mereka menjadi sempit, tentu saja mereka pindah ke daerah perkotaan. Kota Sampit dan Palangka Raya adalah kota-kota tujuan prioritas. Tapi dapatkah mereka bersaing dengan suku-suku pendatang di kedua kota itu ? Ternyata jawabnya adalah: tidak. Karena mereka tidak dilengkapi secara baik (ill-equipped) untuk kehidupan di daerah perkotaan dibandingkan dengan anak muda warga suku-suku pendatang. Mayoritas anak muda Dayak hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar. Mereka hanya bisa masuk ke sektor informal dengan mengandalkan kekuatan otot mereka. Pada saat yang sama, banyak layar televisi memamerkan iming-iming gaya hidup yang mewah dan berlimpah. Frustrasi secara perlahan-lahan tapi pasti mulai menggumpal di dada anak-anak muda Dayak. Merekalah yang terlihat bersorak-sorak di atas truk-truk merayakan dan memamerkan hasil pembantaian mereka atas suku Madura.

Ruang kehidupan dalam kota Sampit juga semakin tidak nyaman. Walaupun Sampit tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan kayu (resmi maupun tidak resmi), fasilitas umum kota sangat miskin. Listrik sering mati hidup, dan air bersih merupakan barang mewah. Selokan dan parit-parit kotor tidak terurus. Berbagai penyakit menular marak di mana-mana. Fasilitas kesehatan kalau tidak terjangkau jaraknya, ia juga tidak terjangkau harganya. Gedung sekolah dan sarana sekolah lain, apalagi buku pelajaran menjadi ajang lahan korupsi yang subur. Korupsi dipraktekkan di mana-mana termasuk Polisi yang sering menarik pungutan 10 % dari para turis.

    Tergerusnya Identitas Diri Suku Dayak. Bersamaan dengan hilangnya hutan Kalimantan, terikut juga proses tergerusnya identitas diri suku Dayak yang cara hidup (way of life) dan budayanya terjalin erat dengan eksistensi hutan. Dalam pertemuan dan interaksi dengan budaya luar, mereka selalu diposisikan dalam sikap defensif. Upaya untuk mengadopsi budaya luar yang berbasis non hutan dan non pertanian terlihat terlalu berat bagi mereka.

Identitas diri suku Dayak memang terus-menerus mengalami reformulasi dan redefinisi sejak persentuhannya dengan agama-agama dunia (Islam, Protestan dan Katholik). Demikian juga pada saat arus migrasi suku Melayu, Bugis dan Jawa datang ke wilayah Kalimantan sejak Abad 15. Pada saat awal, ketika persentuhan hanya terjadi di daerah pesisir pantai, dan karena itu tidak merambah wilayah hutan pedalaman, tradisi Dayak masih dapat bertahan karena hutan mereka tetap utuh. Tetapi setelah kedatangan transmigran yang menusuk langsung ke pedalaman dan setelah Orde Baru memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), maka eksistensi tradisi dan budaya mulai perlahan-lahan tapi pasti tergerus seiring dengan bertumbangannya pohon-pohon Kalimantan. Hutan yang selama masa nenek-moyang mereka dipelihara dengan kearifan tradisional (traditional wisdom) dalam hubungan bersahabat yang saling menguntungkan di ubah oleh pasar dunia menjadi sekedar komoditi diatas landasan falsafah instrumentalisme. Pohon-pohon Kalimantan tidak lebih dari sekedar instrumen pembangunan untuk menghasilkan devisa.


Cara mengatasi konflik di Indonesia dengan cara pemerintah bias menggalakkan sosialisasi dan pertemuan antar pemimpin daerah untuk membuat kesepakatan damai atau gencatan senjata antarsuku yang sering bertikai. Walaupun saat ini setiap suku yang pernah terlibat konflik terlihat damai, namun rasa dendam tidak bias dihapuskan begitu saja. Untuk itu, perlu diadakan pertemuan rutin yang membahas mengenai kesepakatan damai dan kemajuan tentang kerukunan yang terjadi di daerah masing-masing.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar