Konflik antarsuku
atau antar daerah bahkan antarwarga merupakan hal yang cukup sering terjadi,
terlebih di Negara Indoesia yang heterogen dengan latar belakang budaya yang
berbeda. Konflik tersebut ada yang bias diselesaikan dengan baikm berakhir dengan
perang dingan, bahkan sampai pada konflik yang membuat jatuhnya korban di salah
satu atau kedua belah pihak.
Di sini saya akan menjelaskan tentang konflik yang terjadi antara suku dayak dan Madura.
Di sini saya akan menjelaskan tentang konflik yang terjadi antara suku dayak dan Madura.
Konflik
Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia, berawal pada
Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota
Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota
Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran
Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika
dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit
mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura
kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal
kepalanya oleh suku Dayak. Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh
suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual
pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad
ke-20.
Meletusnya
konflik komunal (communal conflict) yang. Konflik etnik di Sampit yang
berkecamuk sejak hari Minggu, 18 Februari dinihari hingga awal Maret 2001 ini
meledak begitu saja tanpa dapat diantisipasi oleh siapapun. Padahal dalam empat
tahun terakhir ini kita sebetulnya secara beruntun telah berulang kali diterpa
badai bencana yang sama di berbagai daerah Nusantara. Di daerah Kalimantan
saja, sesungguhnya konflik komunal ini telah berkecamuk sejak tahun 1950-an.
Kasus Sampit ini adalah yang ke 16 kali. Pada bulan Juli dan Desember tahun
lalu juga kembali terjadi gejolak konflik yang sama di Kalimantan Tengah.
Mengapa kita begitu terlambat untuk tidak mempersiapkan diri mengantisipasi
kemungkinan datangnya bencana yang sama sampai keadaan telah terlanjur
luluh-lantak demikian rupa, baru kita terkesiap, hilang keseimbangan dan
tergagap-gagap tidak tahu harus berbuat apa ?
Ketidaksiapan
kita sebagai pemerintah yang wajib memberikan jaminan keamanan kepada semua
warganya ini lebih disebabkan oleh kelengahan/kelemahan institusional dalam
memantau, menganalisis dinamika konflik lokal dan menyiapkan kerangka
antisipasi dan penyelesaian yang komperhensif, serta kekurangpedulian serta
kekurangpekaan para pemimpin atas permasalahan dan penderitaan rakyat di
wilayah-wilayah yang rawan konflik. Proses pemisahan Polri dari TNI yang belum
tuntas serta dimulainya proses desentralisasi dengan persiapan serba tanggung
telah menyebabkan para pejabat (sipil dan militer) saling menunggu dan melempar
tanggung-jawab satu kepada yang lain. TNI menunggu Polisi meminta bantuan, dan
setali-tiga-uang, Pemerintah Pusat menunggu Pemda memohon pertolongan. Tidak
muncul kesigapan pihak manapun yang bergerak atas dasar ketulusan kecintaan
kepada anak Bangsa yang terkapar mengenaskan.
Dikatakan
kelengahan institusional karena kita ternyata sampai kini belum memiliki suatu
Sistem Peringatan Dini yang mumpuni walaupun telah berulangkali diterpa badai
konflik komunal yang sejenis. Sesungguhnya, Peta Konflik Komunal di Nusantara
tercinta ini dapat dengan mudah dikenali dan dibuat. Lagipula, Anatomi Konflik
Komunal itu juga memperagakan pola-dasar yang nyaris seragam di berbagai
titik-panas yang telah sempat meletus. Disamping itu, secara institusional kita
juga belum mampu menyuguhkan suatu Kerangka Penyelesaian yang cermat,
komperhensif dan realistik untuk dilaksanakan. Cara penyelesaian yang diajukan
selama ini selalu bersifat ad-hoc dan parsial. Lebih parah lagi cara-cara
ad-hoc dan parsial inipun tidak dilaksanakan dengan komitmen dan kesungguhan
yang berkesinambungan.
Peta
konflik di Nusantara dalam sepuluh tahun terakhir ini kurang-lebih menyebar
mengikuti garis pemisah Wallace (Wallace line). Jenis konflik Indonesia Barat
yang terutama mencakup Sumatera, Jawa dan Bali lebih merupakan konflik
vertikal, antara negara/aparat negara yang berhadapan dengan warga negara,
seperti Aceh misalnya. Kalaupun, kelompok etnis tertentu terseret dalam konflik
itu maka biasanya karena kelompok itu diyakini dekat dengan aparat negara yang
korup, seperti kasus Bengkalis, Riau, baru-baru ini. Konflik yang bersifat
vertikal ini cepat atau lambat pada akhirnya akan menjalar menjadi konflik
horizontal antara kelompok etnis yang bersaing seperti dalam kasus Aceh,
pendatang Jawa kemudian dimusuhi dan diusir oleh penduduk asli Aceh.
Langkanya
konflik horizontal di Indonesia bagian Barat ini sangat erat hubungannya dengan
mozaik konfigurasi komunal di sana. Hampir semua bagian wilayah ini, kecuali
Sumatera Selatan, didiami oleh satu suku utama yang dominan, Aceh oleh orang
Aceh, Sumut oleh Batak, Sumbar oleh orang Minang, Jawa Barat oleh Sunda, Jawa
Tengah dan Timur oleh orang Jawa serta pulau Dewata oleh orang Bali. Tingkat
homogenitas yang tinggi dan dominasi yang digenggam oleh satu suku utama ini
mampu menjadi instrumen pencegah dan peredam yang ampuh. Lagipula secara
relatif Indonesia Barat adalah wilayah yang lebih dulu terpapar terhadap
pengaruh luar. Sejak berabad-abad mereka terbiasa bergaul, dalam bidang
perdagangan, dengan pendatang minoritas yang sama sekali tidak membangkitkan
rasa keteracaman di pihak penduduk asli yang dominan. Toleransi akan
keanekaragaman sudah melekat secara alamiah baik dalam sistem budaya maupun
dalam sikap dan tingkah laku warga Indonesia Barat.
Bentuk-bentuk
Komflik Sampit
Keseluruhan
permasalahan yang meletupkan konflik Sampit yang demikian bengis itu dapat
dipilah-uraikan anatominya dalam empat (4) kelompok faktor utama, yaitu : (1)
pola pemukiman yang berperan sebagai facilitating factor; (2) menyempitnya
ruang-hidup (Lebensraum) penduduk asli yang merupakan inti permasalahan (core
of the problem) dari struktur konflik komunal ini; (3) tergerusnya
identitas-diri (self-identity) suku Dayak yang berperan sebagai faktor sumbu
pencetus (fuse factor); dan (4) lembaga penegak hukum yang lumpuh akibat aparat
yang korup yang berperan sebagai mekanisme penumpuk kekesalan (grudges) yang
terus membukit terutama selama 32 tahun terakhir ini.
Pola Pemukiman yang tersegregasi
(segregated pattern of settlement).Seperti diketahui, pola pemukiman suku asli
di daerah pedesaan
adalah pola pemukiman sub-suku (tribal pattern of settlement). Tiap sub suku
Dayak mengklaim teritori tertentu dengan batas-batas yang jelas dengan teritori
sub-suku lain. Penarikan batas yang jelas ini, di satu pihak, kedalam sesama
warga berfungsi sebagai penegasan rasa ke-kita-an (sense of community)
sekaligus untuk menjamin rasa aman (physical safety) dan lahan untuk mewadahi
kegiatan bersama dalam mengusahakan kesejahteraan (material well-being), di
lain pihak, keluar, merupakan pengakuan akan eksistensi sub-suku lain yang juga
dihormati haknya untuk hidup berdampingan secara damai.Pola pemukiman di
pedesaan Kalimantan ini kemudian dibawa dan diterapkan oleh warga Dayak yang
berpindah ke wilayah perkotaan. Mereka cenderung untuk mengelompok perumahannya
dalam suatu wilayah/sudut kota tertentu. Pola pemukiman yang segregatif secara
horizontal akan menjadi lahan konflik yang subur bila ia tumpang-tindih dengan
segregasi kelas secara ekonomi. Di banyak kota di Kalimantan, khususnya Sampit,
Keterbelahan horizontal memang benar-benar berhimpit dengan keterbelahan
vertikal.
Keterbelahan
vertikal ini mengambil bentuk dalam jenis-pekerjaan dan posisi-posisi strategis
yang dikapling oleh suku-suku tertentu. Mayoritas warga suku Dayak adalah
petani, sedangkan mayoritas suku-suku pendatang adalah di bidang non-pertanian.
Sebagian besar dari posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan digenggam
oleh suku-suku pendatang. Kalaupun ada satu dua warga Dayak yang menjadi Camat
atau Bupati, keseluruhan sisa jabatan birokrasi yang ada dikuasai oleh
suku-suku pendatang.
Pola
bertempat tinggal yang segregatif ini yang kemudian berresonansi dengan
pengkaplingan pekerjaan dan posisi-posisi strategis jelas menyekat suku asli
dari suku-suku pendatang yang semakin mempertebal rasa ke-kita-an dan rasa
ke-mereka-an di kedua belah pihak. Pada titik ini, yang terjadi tidak
ketertutupan sosial (social closure) tapi juga ketertutupan ekonomi (economic
closure). Bila hal yang terakhir ini terjadi, kekerasan struktural (structural
violence) yaitu penutupan akses ke dan kontrol atas sumber daya strategis mulai
terjadi.
Bila hal
ini tidak segera dikoreksi maka lambat atau cepat structural violence akan
melahirkan physical violence.
Menyempitnya Ruang Kehidupan Suku Dayak.
Ruang kehidupan dan mata pencaharian suku Dayak yang sangat terjalin erat hutan
dan tanah terancam punah oleh kebijakan pemerintah Pusat Orba yang banyak
memberi HPH kepada para konglomerat kroni. Tiga puluh tahun lalu, Kabupaten Kotawaringin
Timur di mana Sampit berada, mempunyai 5 juta Ha hutan. Sekarang menyusut
tinggal 2,7 juta Ha yang masih berbentuk hutan. Dari jumlah ini hanya 0,5 Ha
yang ditetapkan sebagai hutan-lindung yang tidak boleh diolah oleh siapapun
termasuk warga Dayak. Ada rencana untuk mengambil 2,7 juta Ha yang tersisa
tersebut di atas untuk dijadikan perkebunan Negara. Bila pembabatan hutan, baik
legal maupun yang illegal, terus berlangsung dengan kecepatan seperti sekarang
ini maka diperkirakan seluruh hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur akan habis
tak berbekas dalam 10 tahun yang akan datang. Bagian hutan yang diambil alih
telah disulap menjadi tanah pertanian, perkebunan, semak-belukar serta
pemukiman.
Ruang
kehidupan yang semakin sempit terutama dirasakan oleh generasi muda Dayak yang
masih harus membangun hidup mereka. Bila hutan dan lahan sistem perladangan
mereka menjadi sempit, tentu saja mereka pindah ke daerah perkotaan. Kota
Sampit dan Palangka Raya adalah kota-kota tujuan prioritas. Tapi dapatkah mereka
bersaing dengan suku-suku pendatang di kedua kota itu ? Ternyata jawabnya
adalah: tidak. Karena mereka tidak dilengkapi secara baik (ill-equipped) untuk
kehidupan di daerah perkotaan dibandingkan dengan anak muda warga suku-suku
pendatang. Mayoritas anak muda Dayak hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar.
Mereka hanya bisa masuk ke sektor informal dengan mengandalkan kekuatan otot
mereka. Pada saat yang sama, banyak layar televisi memamerkan iming-iming gaya
hidup yang mewah dan berlimpah. Frustrasi secara perlahan-lahan tapi pasti
mulai menggumpal di dada anak-anak muda Dayak. Merekalah yang terlihat
bersorak-sorak di atas truk-truk merayakan dan memamerkan hasil pembantaian
mereka atas suku Madura.
Ruang
kehidupan dalam kota Sampit juga semakin tidak nyaman. Walaupun Sampit tumbuh
pesat sebagai pusat perdagangan kayu (resmi maupun tidak resmi), fasilitas umum
kota sangat miskin. Listrik sering mati hidup, dan air bersih merupakan barang
mewah. Selokan dan parit-parit kotor tidak terurus. Berbagai penyakit menular
marak di mana-mana. Fasilitas kesehatan kalau tidak terjangkau jaraknya, ia
juga tidak terjangkau harganya. Gedung sekolah dan sarana sekolah lain, apalagi
buku pelajaran menjadi ajang lahan korupsi yang subur. Korupsi dipraktekkan di
mana-mana termasuk Polisi yang sering menarik pungutan 10 % dari para turis.
Tergerusnya Identitas Diri Suku Dayak.
Bersamaan dengan hilangnya hutan Kalimantan, terikut juga proses tergerusnya
identitas diri suku Dayak yang cara hidup (way of life) dan budayanya terjalin
erat dengan eksistensi hutan. Dalam pertemuan dan interaksi dengan budaya luar,
mereka selalu diposisikan dalam sikap defensif. Upaya untuk mengadopsi budaya
luar yang berbasis non hutan dan non pertanian terlihat terlalu berat bagi
mereka.
Identitas
diri suku Dayak memang terus-menerus mengalami reformulasi dan redefinisi sejak
persentuhannya dengan agama-agama dunia (Islam, Protestan dan Katholik).
Demikian juga pada saat arus migrasi suku Melayu, Bugis dan Jawa datang ke
wilayah Kalimantan sejak Abad 15. Pada saat awal, ketika persentuhan hanya
terjadi di daerah pesisir pantai, dan karena itu tidak merambah wilayah hutan
pedalaman, tradisi Dayak masih dapat bertahan karena hutan mereka tetap utuh.
Tetapi setelah kedatangan transmigran yang menusuk langsung ke pedalaman dan
setelah Orde Baru memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), maka eksistensi
tradisi dan budaya mulai perlahan-lahan tapi pasti tergerus seiring dengan
bertumbangannya pohon-pohon Kalimantan. Hutan yang selama masa nenek-moyang mereka
dipelihara dengan kearifan tradisional (traditional wisdom) dalam hubungan
bersahabat yang saling menguntungkan di ubah oleh pasar dunia menjadi sekedar
komoditi diatas landasan falsafah instrumentalisme. Pohon-pohon Kalimantan
tidak lebih dari sekedar instrumen pembangunan untuk menghasilkan devisa.
Cara mengatasi
konflik di Indonesia dengan cara pemerintah bias menggalakkan sosialisasi dan
pertemuan antar pemimpin daerah untuk membuat kesepakatan damai atau gencatan
senjata antarsuku yang sering bertikai. Walaupun saat ini setiap suku yang
pernah terlibat konflik terlihat damai, namun rasa dendam tidak bias dihapuskan
begitu saja. Untuk itu, perlu diadakan pertemuan rutin yang membahas mengenai
kesepakatan damai dan kemajuan tentang kerukunan yang terjadi di daerah masing-masing.
Sumber:
http://chaamarisa.blogspot.com/2013/04/konflik-sampit-makalah.html
http://www.bimbingan.org/konflik-antar-suku-dayak-dan-madura.htm
http://www.anneahira.com/perang-antarsuku-di-indonesia.htm
http://www.bimbingan.org/konflik-antar-suku-dayak-dan-madura.htm
http://www.anneahira.com/perang-antarsuku-di-indonesia.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar